Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Pemerintah berniat mengimplementasikan pajak karbon pada 1 April 2022 mendatang. Hal tersebut dilakukan untuk menekan emisi karbon yang merupakan bentuk eksternalitas negatif yang menghambat pertumbuhan ekonomi hijau.

Latar Belakang

  • Perlu pengendalian peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi sehingga akan menurunkan risiko perubahan iklim dan bencana di indonesia.
  • Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebanyak 29% (dengan usaha sendiri) atau 41% (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030 sesuai dengan konvensi perubahan iklik yang sudah disepakati.
  • Mitigasi perubahan iklim di Indonesia membutuhkan pembiayaan.
  • Mengubah perilaku pelaku aktivitas ekonomi yang berpotensi menghasilkan emisi gas rumah kaca.

Pengaturan dalam UU HPP

  • Pajak karbon akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan roadmap yang akan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor dan kondisi ekonomi.
  • Penerapan pajak karbon akan mengedepankan prinsip keadilan dan keterjangkauan dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat kecil
  • Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan minimal tarif Rp 30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e)
  • Implementasi pertama kali 1 april 2022 pada sektor PLTU batubara dengan skema cap and tax yang searah dengan implementasi pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara.

“Saat ini sedang disusun rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) pembangkit tenaga listrik,” jelas Rida dalam konferensi pers, Selasa (18/1/2022).

Adapun usulan mekanismenya yakni Surat Persetujuan Teknis Eemisi (PTE) pada PLTU batu bara diterbitkan oleh Menteri ESDM melalui Ditjen Ketenagalistrikan.

Kemudian, surat PTE diberikan kepada unit instalasi PLTU batu batu bara dalam satuan ton CO2e atau ton karbon dioksida ekuivalen dan berdasarkan dari nilai batas atas emisi (ton CO2e/MWh) yang dikalikan produksi bruto (MWh) yang direncanakan pada awal tahun.

“Trading dilakukan antar peserta uji coba dengan penerapan maksimum trading dari unit pembangkit surplus dibatasi sebesar 70% dan offset ditetapkan dari aksi mitigasi pembangkit EBT (energi baru terbarukan) sebesar 30%,” jelas Rida.

Saat tahap uji coba, nilai batas emisi untuk perdagangan karbon ini terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
– PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 400 MW.
– PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas 100-400 MW.
– PLTU Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 100 MW.

Skema pajak karbon untuk ketiga kategori pembangkit tersebut akan diterapkan mulai 1 April 2022.

SKEMA PAJAK KARBON

Dalam bagian penjelasan UU HPP disebutkan tahapan pengenaan pajak karbon.

Pertama, pada 2021 dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon.

Kedua, pada 2022—2024 diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Ketiga, pada 2025 dan seterusnya dilaksanakan implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai dengan kesiapan sektor terkait. Perluasan sektor tetap memperhatikan kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *